Social media policy, bisa diartikan sebagai kebijakan yang mengatur bagaimana karyawan dari sebuah perusahaan berkomunikasi dengan dunia maya. Sering kita temui akibat sebuah status Facebook karyawan yang beredar di dunia maya, beberapa kasus penting perusahaan menjadi konsumsi publik. Padahal itu adalah dokumen confidential yang harus ditutup rapat-rapat. Dalam hal ini, tak jarang perusahaan harus menebusnya dengan harga mahal.
Menurut Eric B. Meyer, dari asosiasi tenaga kerja dan ketenagakerjaan Grup Dilworth Paxson LLP di USA, perusahaan tetap harus mempertimbangkan dari sisi hukum dalam mengembangkan kebijakan social media.
“Apalagi bila hal itu menyangkut privasi perusahaan yang sangat penting, pengusaha memiliki hak untuk memantau penggunaan social media oleh karyawan baik yang diakses dari tempat kerja, aktivitas di luar kantor, atau pun saat berada di rumah,” imbuh Eric.
Ada beberapa masalah lama yang bisa didapatkan kembali melalui internet, yaitu ketika seorang karyawan dipecat lantaran aktivitasnya di Facebook. Ini bukan masalah baru, dan terus terjadi sampai saat ini. Beberapa staf HRD beberapa perusahaan memang mengakuinya, mereka selalu memantau aktivitas karyawanya dalam menggunakan berbagai media sosial.
Apa yang mendasarinya? Mungkin kita sedikit lupa ketika diterima sebagai karyawan pada sebuah perusahaan, ada peraturan tertulis mapun tidak tertulis sebagai suatu kebiasaan yang menekankan bahwa karyawan wajib menjaga rahasia perusahaan dan diharapkan untuk tetap loyal kepala perusahaan selama mereka bekerja. Bahkan ketika mereka tidak lagi menjadi karyawan, tidak etis apabila mereka membocorkan dan menjelekan perusahaannya yang lama. Apabila dilakukan, tanpa sadar kita dapat dianggap sebagai karyawan ‘pembangkang’ yang dapat beresiko bagi setiap perusahaan dimana kita bekerja.
Memang sebuah dilema, ketika kita melihat ketidakberesan pada perusahaan, kita seolah-olah dipaksa untuk menutup mata dan mulut sehingga loyalitas kepada perusahaan dipandang baik. Namun disisi lain mungkin saja hati nurani akan berkata lain, kita ingin sekali mengungkapkan hal tersebut agar tidak merugikan orang banyak. Ketika mengungkapkannya, ada mungkin dianggap sebagai Hero bagi banyak orang namun tanpa sadar kita dinilai sebaliknya bagi pemilik perusahaan yang lain. Kita dicap sebagai seorang karyawan yang ‘berbahaya’ dan hal ini berpengaruh ketika ingin melamar pada perusahaan baru lainya. Ini kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Langkah-langkah berikut mungkin dapat dicoba untuk diterapkan para pimpinan perusahaan untuk memastikan bahwa karyawannya telah menggunakan social media tanpa menyebarkan hal negatif
perusahaan :
1. Menetapkan aturan dan ekspektasi terhadap karyawan berkenaan dengan social media
Untuk menghindari isu-isu negatif yang disebabkan oleh sosial media perusahaan perlu mempersiapkan dan menyebarluaskan kebijakan yang mengatur tentang penggunaan sosial media, terutama yang menyangkut kredibilitas perusahaan.
Sebuah kebijakan yang baik, hendaknya mencangkup dua hal, yakni panduan (guidelines) dan peraturan (rule). Di dalamnya, dicantumkan pula ekspektasi perusahaan terhadap karyawan tentang bersosial media. Dengan demikian, karyawan akan terdorong untuk mengabarkan hal positif tentang perusahaan.
Untuk mengomunikasikan hal tersebut kepada karyawan, bisa diadakan training formal atau informal. Dan untuk meminimalkan budget, training bisa dilakukan sembari makan siang atau saat break kerja.
2. Melakukan monitoring terhadap tingkah laku karyawan dalam bersosial media
Untuk menghindari hal-hal negatif yang merugikan perusahaan, biasanya perusahaan akan melakukan pelarangan akses terhadap sosial media. Namun, pelarangan seperti itu bukanlah hal yang bijak. Meskipun tidak menggunakan internet kantor, karyawan dapat tetap mengakses situ melalui smartphone mereka.
Daripada menggunakan cara demikian, lebih baik jika perusahaan memberikan kebebasan bagi karyawan untuk mengakses situs tersebut dan melakukan monitoring penggunaannya oleh karyawan. Cara termudah dan termurah adalah dengan memasang software tweetdeck atau google alert untuk mengetahui aktivitas sosial media oleh karyawannya. Dan jika ada salah satu orang yang memasang komentar atau status yang kontroversial, sebaiknya pelacakan bukan dilakukan oleh pihak yang tidak terkait secara langsung dengan kepentingan/masalah tersebut.
3. Mengklarifikasi fakta
Jika kita mendapatkan kabar bahwa salah satu atau beberapa karyawan kita memposting hal-hal yang kontroversial di sosial media, maka pertama sekali yang harus kita lakukan adalah memastikan bahwa kabar tersebut adalah fakta. Dengan demikian, kita akan lebih mudah mengambil langkah untuk meminimalkan risiko.
Yang sering terjadi adalah ketika ada seorang karyawan yang melakukan kesalahan di sosial media, perusahaan akan langsung memecat mereka. Padahal, yang demikian itu tidak perlu jika kesalahan yang dilakukan tidak fatal seperti pemfitnahan atau diskriminasi. Sedangkan untuk kesalahan yang masih bisa ditoleransi, akan lebih baik jika pimpinan atau atasan melakukan investigasi, mengikuti aturan main yang berlaku di perusahaan dan mendisiplinkan karyawan tersebut.
4. Follow Up
Melakukan investigasi terhadap karyawan yang melakukan kesalahan posting di sosial media, kita tidak boleh berhenti melakukan follow up terhadap semua pihak terkait. Semakin kita update terhadap perkembangan kasus, semakin cepat kita mengambil langkah mitigasi.
Contoh kasus Coca Cola:
Referensi:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/17/antara-etika-resiko-atau-kebebasan-menulis-tentang-perusahaan-anda-436141.html
http://www.portalhr.com/people-management/6-hal-penting-sebelum-social-media-policy-diterapkan/
http://www.portalhr.com/tips/menangani-karyawan-yang-kontroversial-di-social-media/
http://media-ide.bajingloncat.com/2009/03/22/kasus-coca-cola-di-facebook-public-profile/
1. Menetapkan aturan dan ekspektasi terhadap karyawan berkenaan dengan social media
Untuk menghindari isu-isu negatif yang disebabkan oleh sosial media perusahaan perlu mempersiapkan dan menyebarluaskan kebijakan yang mengatur tentang penggunaan sosial media, terutama yang menyangkut kredibilitas perusahaan.
Sebuah kebijakan yang baik, hendaknya mencangkup dua hal, yakni panduan (guidelines) dan peraturan (rule). Di dalamnya, dicantumkan pula ekspektasi perusahaan terhadap karyawan tentang bersosial media. Dengan demikian, karyawan akan terdorong untuk mengabarkan hal positif tentang perusahaan.
Untuk mengomunikasikan hal tersebut kepada karyawan, bisa diadakan training formal atau informal. Dan untuk meminimalkan budget, training bisa dilakukan sembari makan siang atau saat break kerja.
2. Melakukan monitoring terhadap tingkah laku karyawan dalam bersosial media
Untuk menghindari hal-hal negatif yang merugikan perusahaan, biasanya perusahaan akan melakukan pelarangan akses terhadap sosial media. Namun, pelarangan seperti itu bukanlah hal yang bijak. Meskipun tidak menggunakan internet kantor, karyawan dapat tetap mengakses situ melalui smartphone mereka.
Daripada menggunakan cara demikian, lebih baik jika perusahaan memberikan kebebasan bagi karyawan untuk mengakses situs tersebut dan melakukan monitoring penggunaannya oleh karyawan. Cara termudah dan termurah adalah dengan memasang software tweetdeck atau google alert untuk mengetahui aktivitas sosial media oleh karyawannya. Dan jika ada salah satu orang yang memasang komentar atau status yang kontroversial, sebaiknya pelacakan bukan dilakukan oleh pihak yang tidak terkait secara langsung dengan kepentingan/masalah tersebut.
3. Mengklarifikasi fakta
Jika kita mendapatkan kabar bahwa salah satu atau beberapa karyawan kita memposting hal-hal yang kontroversial di sosial media, maka pertama sekali yang harus kita lakukan adalah memastikan bahwa kabar tersebut adalah fakta. Dengan demikian, kita akan lebih mudah mengambil langkah untuk meminimalkan risiko.
Yang sering terjadi adalah ketika ada seorang karyawan yang melakukan kesalahan di sosial media, perusahaan akan langsung memecat mereka. Padahal, yang demikian itu tidak perlu jika kesalahan yang dilakukan tidak fatal seperti pemfitnahan atau diskriminasi. Sedangkan untuk kesalahan yang masih bisa ditoleransi, akan lebih baik jika pimpinan atau atasan melakukan investigasi, mengikuti aturan main yang berlaku di perusahaan dan mendisiplinkan karyawan tersebut.
4. Follow Up
Melakukan investigasi terhadap karyawan yang melakukan kesalahan posting di sosial media, kita tidak boleh berhenti melakukan follow up terhadap semua pihak terkait. Semakin kita update terhadap perkembangan kasus, semakin cepat kita mengambil langkah mitigasi.
Contoh kasus Coca Cola:
Kasus Coca-Cola di Facebook Public Profile
Istilah Facebook Page kini sudah diganti menjadi Facebook Public Profile, semenjak Facebook Page mengalami perubahan desain dan penambahan status update. Facebook Public Profile dibuat mirip dengan Facebook Profile pada umumnya, hanya bedanya Facebook Public Profile ini khusus diperuntukkan untuk artis, politisi, figur publik, film, dan para pemegang merk. Menurut peraturan Facebook, seorang individu tidak boleh mewakili figur atau merk lainnya saat membuat Facebook Public Profile. Bila itu terjadi, maka Facebook berhak untuk menghapus atau memindahkan kepemilikannya ke pihak pemegang nama merk atau figur. Peraturan ini untuk mencegah terjadinya penjelekan nama merk atau figur oleh orang lain.
Kasus Facebook Public Profile Coca-Cola ini menarik untuk disimak. Halaman ini ternyata bukan dibuat oleh pemegang merk Coca-Cola, tapi dibuat oleh 2 orang penggemarnya, Dusty Sorg dan Michael Jedrzejewski. Yang membuat lebih takjub lagi, ternyata halaman ini adalah halaman dengan fan terbanyak kedua di Facebook, setelah halaman Barrack Obama. Sebenarnya, ada 250-an halaman Coca-Cola lainnya yang dibuat oleh fan, namun entah kenapa halaman inilah yang ternyata paling banyak fan-nya. Bisa jadi, gambar kaleng Coca-Cola di kiri layar itulah yang memberi kesan kalau ini adalah halaman resmi Coca-Cola, padahal sih bukan.
Lalu, bagaimana pemegang merk Coca-Cola bersikap terhadap dua orang ini? Coca-Cola bisa dengan leluasa meminta Facebook mengalihkan kepemilikan halaman dan menuntut dua orang itu. Namun, tentunya ini bisa berdampak buruk terhadap citra Coca-Cola di dunia daring. Dengan Facebook Public Profile ini, baik Sorg dan Jedrzejewski sudah menjadi evangelist Coca-Cola sejak lama. Mengabaikan mereka sama saja dengan ‘membunuh’ basis penggemar loyal mereka.
Yang kemudian dilakukan Coca-Cola justru adalah dengan mengundang dua orang tersebut ke kantor pusat Coca-Cola di Atlanta, mengajak mereka berkunjung ke museum World of Coke, hingga memberikan mereka akses ke arsip-arsip lama Coca-Cola. Mereka lalu berdiskusi untuk pengembangan Facebook Public Profile Coca-Cola ini di masa datang. Kepengolalaan halaman ini lalu tetap diberikan ke Sorg dan Jedrzejewski, bersama dengan beberapa orang lainnya dari pihak Coca-Cola. Kisah lebih lengkapnya bisa dibaca di sini.
Cara ini lebih terlihat anggun. Coca-Cola tidak secara brutal mengakuisisi halaman yang sudah capai-capai dibesarkan oleh para evangelist, tapi justru mengajak mereka untuk mengembangkannya bersama-sama. Sekarang bahkan Sorg dan Jedrzejewski menjadi terkenal setelah Coca-Cola membuat video khusus tentang cerita mereka ini di Facebook.
Memang saat ini belum ada kejadian serupa terjadi di Indonesia. Pemegang merk di Indonesia pun masih belum gencar berkampanye melalui Facebook Public Profile. Namun, bukan tidak mungkin terjadi. Jadi, bersiaplah para figur publik dan pemegang merk. Pikirkan bagaimana nanti kalian akan bersikap kalau muncul seorang evangelist yang melakukan hal serupa untuk Anda.
Referensi:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/17/antara-etika-resiko-atau-kebebasan-menulis-tentang-perusahaan-anda-436141.html
http://www.portalhr.com/people-management/6-hal-penting-sebelum-social-media-policy-diterapkan/
http://www.portalhr.com/tips/menangani-karyawan-yang-kontroversial-di-social-media/
http://media-ide.bajingloncat.com/2009/03/22/kasus-coca-cola-di-facebook-public-profile/